Thursday, October 30, 2008

Menyingkap Perubahan Brawijaya

Setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan yang layak seperti yang diamanatkan konstiusi. Bahkan, anggaran pendidikan harusnya 20 % dari APBN. Namun sebelum itu semua dilakukan, pendidikan telah menjadi komoditas. Brawijaya pun ikut dalam arus komoditas dengan ditandai perubahan status.

Deru langkah pembangunan mewarnai perubahan kampus Brawijaya. Penjagaan pun kian diperketat dengan dalih keamanan dan ketertiban, demi menunjukkan Brawijaya siap berubah status. Sebagai kampus yang memiliki status otonom, Brawijaya melakukan restrukturisasi keorganisasian, menajemen keamanan, manajemen keuangan, dan efisiensi kegiatan.

Bila kita amati saat ini, penjaga kampus mulai bertambah. Semakin banyak satpam maka semakin baik pula keamananya, tapi kali ini mahasiswa terkena imbas atas banyaknya satpam yang masih training. Posisi dilematis memang selalu dialami pekerja kelas bawah (satpam, red) karena dijadikan alat untuk mempermulus keinginan rektorat. Di satu sisi dia bekerja untuk memperoleh upah, di sisi lain harus menghadapi mahasiswa yang sering beraktivitas di kampus.
Fenomena baru, di beberapa lahan kosong atau parkir yang biasanya untuk main bola mulai terusik. Satpam secara tegas mengusir orang yang main bola tersebut. Ini sangat ironis di tengah minimnya lahan untuk rekreasi dan olahraga. Bisa dipastikan dengan kondisi seperti ini kita (mahasiswa, red) akan tergusur perlahan-lahan.


Kebijakan jam malam dianggap mematikan gerak langkah mahasiwa dalam mengembangkan minat dan bakatnya. Mahasiswa dalam melakukan kegiatan diharuskan meiliki jam kerja yang jelas. Kegiatan pun dibatasi sampai jam 9 malam. Dampaknya, lembaga minat bakat dan himpunan mahasiswa sepi kegiatan. Kalau sudah demikian, mahasiswa dengan sendirinya akan sulit tertarik berorganisasi. Mungkin ini tindakan preventif rektorat dalam meredam gerakan mahasiswa.

Selain itu, kebijakan lima hari kerja lebih menguntungkan dosen dan karyawan. Mereka lebih panjang masa libur sementara pelayanan masih sama seperti sebelum ada kebijakan. Pemampatan kegiatan akademis tentunya menjadikan mahasiswa lupa akan fungsinya, waktu akan lebih banyak digunakan untuk mengurusi akademis saja tanpa memikirkan yang lain.

Komersialisasi Pendidikan

Seperti yang kita dengar bersama, Brawijaya menyatakan diri siap menjadi ‘entrepreneur university’. Selain itu, Brawijaya telah mengantongi status otonom dalam pengelolaan keuangaannya. Tak salah jika kampus akan lebih menonjolkan penampilan fisik. Lalu, akan menggunakan dalih otonom demi menaikkan biaya pendidikan dengan alasan untuk pengembangan kampus, menaikkan honor dosen, dan lain-lain. Selain itu, kampus akan dengan mudah membuat unit bisnis guna menambah pundi-pundi keuangan, seperti membuka penginapan di kampus (Guest House, red), membuka unit konsultan, menyewakan peralatan kampus, membuka kelas ekstensi tanpa batas, dan lain-lain. Padahal mereka menggunakan fasilitas negara bahkan dosennya PNS dan digaji negara, semestinya efek otonomi tidak perlu sedrastis ini.

Adanya status otonom, mau tidak mau membuat Brawijaya harus mengalami perubahan. Gedung-gedung bertingkat semakin banyak menjulang tinggi seolah ingin mempertegas bahwa kampus ini adalah kampus pilihan yang diperlihatkan dari segi fisik. Jalan-jalan pun diperbaruhi untuk mengimbangi gedung yang telah dibangun. Pos-pos satpam juga tak luput dari pembangunan. Semuanya direnovasi ulang menyesuaikan kebutuhan kampus. Tak dipungkiri, pembangunan ini diharapkan agar civitas akademika merasa nyaman menjalani proses belajar mengajar.

Pembangunan fisik saja tidak cukup bila tak dibarengi peningkatan fasilitas penunjang perkuliahan dan kondisi akademis yang dapat merangsang kreatifitas, seperti ruang baca yang literaturnya lengkap, manajemen pengelolaan perkuliahan, ketersediaan literatur penunjang dan lain-lain. Kalau mau jujur, kita lihat saja kondisi perpustakaan yang begitu gurem dengan setumpuk buku-buku usang berdebu dan dimakan rayap di dalamnya. Bisa jadi, keindahan semu ini (pembangunan fisik, red) mampu menipu mata setiap orang yang melihatnya.

Dana yang dikeluarkan untuk pembangunan ini pun tidak sedikit. Harusnya ada keseimbangan antara pembangunan fisik dengan kualitas sumberdaya manusia civitas akademika. Kita akan malu jika hanya dikenal sebagai kampus yang menarik secara visual tapi mental dan karakter masih berada di tingkatan bawah. Bahkan, di dunia kerjapun kita dijadikan bahan ejekan semata bila keseimbangan ini tak bisa diwujudkan. Alangkah baiknya, uang hasil pembangunan gedung dialihkan untuk proses peningkatan sumberdaya manusia baik mahasiswa maupun dosen.

Jika Marx mengatakan kalau mahasiswa adalah kumpulan individu yang paling bebas dalam menentukan kelasnya1. Tapi, mahasiswa saat ini lebih suka menempati struktur sosial kelas atas dan melupakan struktur sosial kelas bawah. Lihat saja, kebanyakan mahasiswa hidup dalam arus konsumerisme dan lebih canggung untuk turun langsung membantu dan menyelesaikan masalah masyarakat. Akhirnya, mahasiswa yang cerdas dan tanggap terhadap kesejahteraan masyarakat akan sulit diharapkan sebab mereka lebih berpikir untuk diri sendiri.

***
Di awal tahun 2008, mahasiswa angkatan 2007 disibukkan mengurus SPP Proporsional. Proporsional ini dinilai dari gaji orang tua. Konon, cara ini dikatakan lebih adil sehingga mahasiswa membayar sesuai kemampuan finansial orang tuanya. Bahkan, mahasiswa bisa mendapat SPP gratis jika orang tua tidak mampu menanggung biaya kuliah. Mahasiswa yang beruntung ini hanya sebanyak 3,7% dari jumlah mahasiswa baru yang teregistrasi. Meski ada embel-embel SPP Proporsional, secara matematis SPP mahasiswa baru mengalami kenaikan.
Bila fakta SPP gratis ini benar adanya, maka alangkah malang nasib orang-orang miskin –yang jumlahnya sangat besar– di negeri ini sebab anak mereka hanya terserap 3,7% saja dan sisanya milik orang-orang berduit (kalangan ekonomi menengah ke atas, red). Anak boleh pintar, tapi kalau orang tuanya tidak mempunyai biaya maka tetap saja ia tidak bisa masuk perguruan tinggi.


Ini berbeda dengan nasib anak-anak yang orang tua mereka mampu secara finansial. Kalau mereka pintar, tinggal pilih jurusan yang diingini. Bahkan, seandainya pun anak tidak pintar, mereka masih bisa kuliah karena orang tuanya mampu ‘membeli’ bangku kuliah. Hal ini bisa kita baca dalam seri buku karya Eko P Prasetya, diantaranya Orang Miskin Dilarang Sekolah.
Mahasiswa angkatan 2007 cukuplah menjadi contoh dalam penerapan SPP Proporsional.


Kalaupun pihak rektorat tetap menerapkan SPP Proporsional pada mahasiswa angkatan 2008 dan seterusnya, pasti orang-orang miskin yang ingin mengkuliahkan anaknya di kampus ini berpikir dua kali sebab belum tentu SPPnya nanti mampu dijangkau atau gratis. Secara naluriah, mereka akan beralih ke perguruan tinggi swasta yang berbiaya murah. Padahal, perguruan tinggi swasta yang berbiaya murah umumnya memiliki mutu di bawah perguruan tinggi negeri. Hal ini akan terjadi pengkelasan tersistematis mahasiswa.

Selain penerapan SPP yang kontroversial, Brawijaya mencoba mencari keuntungan lebih dari mahasiswa. Pemberlakuan stiker parkir berlangganan contohnya. Alasan adanya stiker menurut pihak rektorat, supaya Brawijaya tidak dijadikan jalan tembus kendaraan bermotor ke Malang Town Square (MATOS). Tapi, realitanya Brawijaya tetap menjadi jalan tembus ke arah MATOS. Memang dalam penerapan saat ini masih carut marut, tapi nanti kalau sudah tersistematis penulis berharap agar pintu masuk Brawijaya tidak dikomersilkan.

Di samping itu, kerjasama-kerjasama yang menguntungkan kampus mulai dilakukan tanpa memikirkan dampak positif atau negatif terhadap mahasiswa. Bahkan, dana hibah jadi rebutan. Padahal, dana hibah yang dikucurkan bersumber dari Bank Dunia ataupun ADB. Secara tidak langsung, hal tersebut merupakan bentuk utang negara melalui proyek yang dikerjakan kampus. Oleh karena itu, Indonesia tak pernah lepas dari jeratan utang baik ADB maupun Bank Dunia.
Kalau sistem pendidikan, termasuk sistem pendanaannya, ini tidak segera dibenahi. Muncul kekhawatiran, struktur sosial di negeri ini akan terus menguntungkan orang-orang kaya saja. Anak orang kaya akan terus kaya, sedangkan anak orang miskin akan tetap miskin. Padahal, bukankah setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan?


Kampus rakyat yang pernah didengungkan Prof. Dr. Ir. yogi sugito, Rektor Universitas Brawijaya, sangat bertolak belakang dengan realita Brawijaya sekarang. Kalau kita masih berpikir skeptis, kampus rakyat maksudnya mungkin rakyat kalangan menengah ke atas saja. Lagi-lagi kampus hanya diisi orang-orang berduit sedangkan mahasiswa kere (kalangan ekonomi kelas bawah) hanya mampu kuliah dalam mimpi. Akhirnya, kampus ini hanya jadi perpanjangan tangan kapitalisme dengan memperlebar jurang antara si kaya yang dipintarkan dan si miskin yang dibodohkan.

No comments: