Monday, November 10, 2008

10 November : Pahlawan

Bangsa ini slalu terjebak dalam pemaknaan hari2 penting. Rutinitas ceremonial menyambut hari penting dilakukan secara wah dan gegap gempita. Namun, lupa akan makna terwujudnya hari2 penting tersebut. Seakan semuanya menguap begitu saja ketika hari penting terlewati...

Merdeka!
Merdeka!
Merdeka!
Semoga hari pahlawan mengendap di dalam jiwa kita!
Kaum muda harus bergerak!
Kaum muda harus melakukan perubahan!
Kalau kaum muda masih berkutat pada akademik tanpa memikirkan nasib masyarakat luas, masih adakah orang seperti Dr Soetomo lahir di bumi Nusantara ini...

Saturday, November 1, 2008

Hari

Aku sadari kalau diriku memang bukan yang terhebat apalagi yang terkuat diantara teman2ku, aku merasa kadang karena diriku lah teman2 menghilang entah kemana....
Tak henti-hentinya aku menyalahkan diriku sendiri atas ketidakmampuanku merangkul teman2, aku terlalu arogan hingga tak ada lagi yang mau ngobrol denganku...

Luka yang tergores tak pernah tertutup sempurna

Maafkan aku kawan!!!
Aku hanya memimpikan sebuah perubahan....

Thursday, October 30, 2008

Benarkah Indonesia itu Atlantis

Beberapa orang coba mendiskusikan dimana letak peradaban pertama kali di mulai. Sejak dulu orang selalu tidak pernah puas dengan kehadiran dirinya, untuk itulah dia perlu tahu masa lalu yang membentuk dirinya. Melalui penelusuran peradaban, manusia mencoba mengungkap siapa dirinya dan untuk apa dirinya ada.

Bagi orang-orang barat, peradaban dimulai dari Atlantis. Salah satu cerita Yunani kuno yang sangat diyakini kebenarannya. Pandangan ini diambil dari Plato yang menceritakan bahwa dahulu ada sebuah peradaban yang sangat maju dari peradaban manapun dan kemudian hancur lebur dalam waktu sehari diakibatkan banjir dan letusan gunung.

Sampai saat inipun orang-orang barat masih mencari sisa-sisa peradaban atlantis. Mereka umumnya mencari di daerah Samudra Atlantik. Tetapi sampai saat ini hasil yang mereka peroleh nihil, tak menunjukkan hasil apapun.

Ahli sejarah mencoba untuk mengungkap misteri Atlantis yang hilang. Cerita ini berawal dari Plato dalam dialog Timeus and Criteus "menyebutkan negeri atlantis adalahnegeri yang datar dan dikelilingi oleh gunung2 pada sisi tepinya.Mereka melakukan panen sebanyak 2 kali dan diuntungkan oleh musimdingin, saat hujan turun dari langit dan saat musim panas mereka hanyamenggali air dari bawah tanah"

Semenjak hegemoni barat beberapa abad yang lalu, bangsa2 utara danbarat tidak mau mengakui kalau Dunia LAma adalah milik selatan danberasal dari selatan. Karena mereka tidak rela kalau ternyata nenekmoyang yang memiliki peradaban tertinggi itu bukan nenek moyang mereka.Dahulu maupun sekarang, bangsa2 yang maju selalu menggambar diri merekadiatas, karena itu peta kuno di mesir terbalik. Daerah selatan yanglebih maju digambarkan diatas. Keterbalikannya dengan sekarang, karena“mereka” yang maju maka peta dunia menjadi terbalik, daerah utara menjadi selatan dan daerah selatan menjadui utara. Sehingga gambar eropa selalu berada diatas dan mengabaikan selatan sebagai negara miskin dan terbelakang, melupakan dunia lama.

Di kitab kuno Ramayana juga tertulis ada sebuah negeri bernama utarakuru atau negara utara,dimana disana tidak ada dingin yang teralu tidak ada panas yang terlalusemuanya serba kecukupan. Kalau peta dunia dibalik, maka Atlantis lah yang berada di utara dan cocok dengan kondisi itu, yaitu Nusantara Kuno. Kita, sudah sangat diseragamkan melihat peta maupun globe.

Kalau sekarang kita melihat globe terbalik apakah salah? Karena juga di tata surya sendiri tidak ada atas tidak ada bawah. Jam yang di design oleh peradaban kuno yang dulunya sejalan dengan perputaran planet sekarang menjadi tidak singkron. Kalau dilihat dari selatan (atau utara jamandulu), putaran bumi sejalan dengan jarum jam dan planet juga. Dankarena posisi peta itu diubah oleh orang 2 dunia baru (peradabaneropa), kita jadi melihat putaran rotasi bumi malah berlawanan arahjarum jam. Arah yang seharusnya tidak sejalan dengan design jammasyarakat peradaban lama.

Setelah peradaban atlantis hilang, mari kita tengok peradabansetelahnya yang muncul, yaitu India, Mesir dan Maya yang berasal dariPeradaban tua Atlantis (Nusantara Kuno). Seperti kita ketahui semuaperadaban itu muncul ditepi laut dan secara mengejutkan peradaban ituberada dipantai yang mengarah ke Nusantara. Dimulai dari India, MEsir,kemudia terakhir suku Maya. Mereka adalah orang2 Atlantis (Nusantara)yang selamat dari bencana besar itu.

Sayangnya, peradaban selalu beradadi lembah, sehingga saat tenggelam daerah2 tinggi tidak dihuni olehbanyak orang. Sisa-sisa Atlantis yang tenggelam disebut sebagai daerahlaut yang tidak boleh dilalui (atau daerahnya HADES, atau Nerakadibawah bumi, dalam mitologi Yunani). Sehingga perairan Indonesia,selama beberapa abad2 tidak ada pelaut yang berani melewatinya.
Selain pemaparan di atas, orang-orang Jawa yang menganut Kejawen percaya kalo peradaban dimulai di daerah Jawa. Entah, hal ini terjadi secara sengaja atau tidak terdapat banyak kesamaan pemahaman antara apa yang diyakini orang-orang kejawen dan pemaparan sejarah di atas.

Menyingkap Perubahan Brawijaya

Setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan yang layak seperti yang diamanatkan konstiusi. Bahkan, anggaran pendidikan harusnya 20 % dari APBN. Namun sebelum itu semua dilakukan, pendidikan telah menjadi komoditas. Brawijaya pun ikut dalam arus komoditas dengan ditandai perubahan status.

Deru langkah pembangunan mewarnai perubahan kampus Brawijaya. Penjagaan pun kian diperketat dengan dalih keamanan dan ketertiban, demi menunjukkan Brawijaya siap berubah status. Sebagai kampus yang memiliki status otonom, Brawijaya melakukan restrukturisasi keorganisasian, menajemen keamanan, manajemen keuangan, dan efisiensi kegiatan.

Bila kita amati saat ini, penjaga kampus mulai bertambah. Semakin banyak satpam maka semakin baik pula keamananya, tapi kali ini mahasiswa terkena imbas atas banyaknya satpam yang masih training. Posisi dilematis memang selalu dialami pekerja kelas bawah (satpam, red) karena dijadikan alat untuk mempermulus keinginan rektorat. Di satu sisi dia bekerja untuk memperoleh upah, di sisi lain harus menghadapi mahasiswa yang sering beraktivitas di kampus.
Fenomena baru, di beberapa lahan kosong atau parkir yang biasanya untuk main bola mulai terusik. Satpam secara tegas mengusir orang yang main bola tersebut. Ini sangat ironis di tengah minimnya lahan untuk rekreasi dan olahraga. Bisa dipastikan dengan kondisi seperti ini kita (mahasiswa, red) akan tergusur perlahan-lahan.


Kebijakan jam malam dianggap mematikan gerak langkah mahasiwa dalam mengembangkan minat dan bakatnya. Mahasiswa dalam melakukan kegiatan diharuskan meiliki jam kerja yang jelas. Kegiatan pun dibatasi sampai jam 9 malam. Dampaknya, lembaga minat bakat dan himpunan mahasiswa sepi kegiatan. Kalau sudah demikian, mahasiswa dengan sendirinya akan sulit tertarik berorganisasi. Mungkin ini tindakan preventif rektorat dalam meredam gerakan mahasiswa.

Selain itu, kebijakan lima hari kerja lebih menguntungkan dosen dan karyawan. Mereka lebih panjang masa libur sementara pelayanan masih sama seperti sebelum ada kebijakan. Pemampatan kegiatan akademis tentunya menjadikan mahasiswa lupa akan fungsinya, waktu akan lebih banyak digunakan untuk mengurusi akademis saja tanpa memikirkan yang lain.

Komersialisasi Pendidikan

Seperti yang kita dengar bersama, Brawijaya menyatakan diri siap menjadi ‘entrepreneur university’. Selain itu, Brawijaya telah mengantongi status otonom dalam pengelolaan keuangaannya. Tak salah jika kampus akan lebih menonjolkan penampilan fisik. Lalu, akan menggunakan dalih otonom demi menaikkan biaya pendidikan dengan alasan untuk pengembangan kampus, menaikkan honor dosen, dan lain-lain. Selain itu, kampus akan dengan mudah membuat unit bisnis guna menambah pundi-pundi keuangan, seperti membuka penginapan di kampus (Guest House, red), membuka unit konsultan, menyewakan peralatan kampus, membuka kelas ekstensi tanpa batas, dan lain-lain. Padahal mereka menggunakan fasilitas negara bahkan dosennya PNS dan digaji negara, semestinya efek otonomi tidak perlu sedrastis ini.

Adanya status otonom, mau tidak mau membuat Brawijaya harus mengalami perubahan. Gedung-gedung bertingkat semakin banyak menjulang tinggi seolah ingin mempertegas bahwa kampus ini adalah kampus pilihan yang diperlihatkan dari segi fisik. Jalan-jalan pun diperbaruhi untuk mengimbangi gedung yang telah dibangun. Pos-pos satpam juga tak luput dari pembangunan. Semuanya direnovasi ulang menyesuaikan kebutuhan kampus. Tak dipungkiri, pembangunan ini diharapkan agar civitas akademika merasa nyaman menjalani proses belajar mengajar.

Pembangunan fisik saja tidak cukup bila tak dibarengi peningkatan fasilitas penunjang perkuliahan dan kondisi akademis yang dapat merangsang kreatifitas, seperti ruang baca yang literaturnya lengkap, manajemen pengelolaan perkuliahan, ketersediaan literatur penunjang dan lain-lain. Kalau mau jujur, kita lihat saja kondisi perpustakaan yang begitu gurem dengan setumpuk buku-buku usang berdebu dan dimakan rayap di dalamnya. Bisa jadi, keindahan semu ini (pembangunan fisik, red) mampu menipu mata setiap orang yang melihatnya.

Dana yang dikeluarkan untuk pembangunan ini pun tidak sedikit. Harusnya ada keseimbangan antara pembangunan fisik dengan kualitas sumberdaya manusia civitas akademika. Kita akan malu jika hanya dikenal sebagai kampus yang menarik secara visual tapi mental dan karakter masih berada di tingkatan bawah. Bahkan, di dunia kerjapun kita dijadikan bahan ejekan semata bila keseimbangan ini tak bisa diwujudkan. Alangkah baiknya, uang hasil pembangunan gedung dialihkan untuk proses peningkatan sumberdaya manusia baik mahasiswa maupun dosen.

Jika Marx mengatakan kalau mahasiswa adalah kumpulan individu yang paling bebas dalam menentukan kelasnya1. Tapi, mahasiswa saat ini lebih suka menempati struktur sosial kelas atas dan melupakan struktur sosial kelas bawah. Lihat saja, kebanyakan mahasiswa hidup dalam arus konsumerisme dan lebih canggung untuk turun langsung membantu dan menyelesaikan masalah masyarakat. Akhirnya, mahasiswa yang cerdas dan tanggap terhadap kesejahteraan masyarakat akan sulit diharapkan sebab mereka lebih berpikir untuk diri sendiri.

***
Di awal tahun 2008, mahasiswa angkatan 2007 disibukkan mengurus SPP Proporsional. Proporsional ini dinilai dari gaji orang tua. Konon, cara ini dikatakan lebih adil sehingga mahasiswa membayar sesuai kemampuan finansial orang tuanya. Bahkan, mahasiswa bisa mendapat SPP gratis jika orang tua tidak mampu menanggung biaya kuliah. Mahasiswa yang beruntung ini hanya sebanyak 3,7% dari jumlah mahasiswa baru yang teregistrasi. Meski ada embel-embel SPP Proporsional, secara matematis SPP mahasiswa baru mengalami kenaikan.
Bila fakta SPP gratis ini benar adanya, maka alangkah malang nasib orang-orang miskin –yang jumlahnya sangat besar– di negeri ini sebab anak mereka hanya terserap 3,7% saja dan sisanya milik orang-orang berduit (kalangan ekonomi menengah ke atas, red). Anak boleh pintar, tapi kalau orang tuanya tidak mempunyai biaya maka tetap saja ia tidak bisa masuk perguruan tinggi.


Ini berbeda dengan nasib anak-anak yang orang tua mereka mampu secara finansial. Kalau mereka pintar, tinggal pilih jurusan yang diingini. Bahkan, seandainya pun anak tidak pintar, mereka masih bisa kuliah karena orang tuanya mampu ‘membeli’ bangku kuliah. Hal ini bisa kita baca dalam seri buku karya Eko P Prasetya, diantaranya Orang Miskin Dilarang Sekolah.
Mahasiswa angkatan 2007 cukuplah menjadi contoh dalam penerapan SPP Proporsional.


Kalaupun pihak rektorat tetap menerapkan SPP Proporsional pada mahasiswa angkatan 2008 dan seterusnya, pasti orang-orang miskin yang ingin mengkuliahkan anaknya di kampus ini berpikir dua kali sebab belum tentu SPPnya nanti mampu dijangkau atau gratis. Secara naluriah, mereka akan beralih ke perguruan tinggi swasta yang berbiaya murah. Padahal, perguruan tinggi swasta yang berbiaya murah umumnya memiliki mutu di bawah perguruan tinggi negeri. Hal ini akan terjadi pengkelasan tersistematis mahasiswa.

Selain penerapan SPP yang kontroversial, Brawijaya mencoba mencari keuntungan lebih dari mahasiswa. Pemberlakuan stiker parkir berlangganan contohnya. Alasan adanya stiker menurut pihak rektorat, supaya Brawijaya tidak dijadikan jalan tembus kendaraan bermotor ke Malang Town Square (MATOS). Tapi, realitanya Brawijaya tetap menjadi jalan tembus ke arah MATOS. Memang dalam penerapan saat ini masih carut marut, tapi nanti kalau sudah tersistematis penulis berharap agar pintu masuk Brawijaya tidak dikomersilkan.

Di samping itu, kerjasama-kerjasama yang menguntungkan kampus mulai dilakukan tanpa memikirkan dampak positif atau negatif terhadap mahasiswa. Bahkan, dana hibah jadi rebutan. Padahal, dana hibah yang dikucurkan bersumber dari Bank Dunia ataupun ADB. Secara tidak langsung, hal tersebut merupakan bentuk utang negara melalui proyek yang dikerjakan kampus. Oleh karena itu, Indonesia tak pernah lepas dari jeratan utang baik ADB maupun Bank Dunia.
Kalau sistem pendidikan, termasuk sistem pendanaannya, ini tidak segera dibenahi. Muncul kekhawatiran, struktur sosial di negeri ini akan terus menguntungkan orang-orang kaya saja. Anak orang kaya akan terus kaya, sedangkan anak orang miskin akan tetap miskin. Padahal, bukankah setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan?


Kampus rakyat yang pernah didengungkan Prof. Dr. Ir. yogi sugito, Rektor Universitas Brawijaya, sangat bertolak belakang dengan realita Brawijaya sekarang. Kalau kita masih berpikir skeptis, kampus rakyat maksudnya mungkin rakyat kalangan menengah ke atas saja. Lagi-lagi kampus hanya diisi orang-orang berduit sedangkan mahasiswa kere (kalangan ekonomi kelas bawah) hanya mampu kuliah dalam mimpi. Akhirnya, kampus ini hanya jadi perpanjangan tangan kapitalisme dengan memperlebar jurang antara si kaya yang dipintarkan dan si miskin yang dibodohkan.

PENDAR CAHAYA UBUR-UBUR POTENSI YANG TERKUBUR


Peran warna telah dimanfaatkan secara luas dalam mengekspresikan sesuatu. Dalam dunia burung, burung jantan senantiasa memiliki warna yang beraneka, berkilau dan lebih indah daripada burung betina. Hal ini penting untuk menarik perhatian burung betina ketika musim kawin tiba.


Alam beserta isinya termasuk binatang dan mikroba dengan kelengkapannya menyediakan kemudahan dalam analisa bioteknologi. Kemudahan tersebut digunakan manusia dengan memanfaatkan beberapa binatang dan mikroba yang memiliki kemampuan menghasilkan warna atau bisa memancarkan cahaya (berpendar) dengan warna tertentu.


Apalagi yang masih tersembunyi di balik sistem fisiologi dan biologi manusia? Siapa yang menyangka penyakit di balik kepala kita dapat dilongok dan langsung diikuti perkembangannya? Siapa sangka perkembangan tumor kanker dapat diikuti dari saat ke saat. Semua itu kini menjadi mungkin karena sudah ada protein yang berpendar berwarna-warni.


Istilah bioluminescence sering digunakan untuk mendefinisikan kemampuan berpendar ini. Contoh mikroba yang memiliki kemampuan menghasilkan warna adalah Escherichia coli, sedangkan binatang yang memiliki bioluminescence diantaranya firefly (kunang-kunang), jellyfish (ubur-ubur) dan ikan laut-dalam seperti anglerfish. Plankton, gurita dan cumi-cumi tertentu juga memiliki kemampuan berpendar. Sedangkan dari jenis mikroba, bioluminescence dimiliki oleh kebanyakan anggota dari famili Vibrionaceae.


Namun perlu diingat bahwasanya kemampuan menghasilkan warna atau pun sifat luminescence tersebut tidak digunakan secara langsung, tetapi melalui teknik isolasi gen yang mengkodenya. Dan telah ditemukan bahwa gen yang mengkode kemampuan menghasilkan warna pada E. coli adalah GUS (beta-glucuronidase), sedangkan kemampuan berpendar pada kunang-kunang dikode oleh LUC (luciferase), dan pada ubur-ubur dikode oleh GFP (green fluorescent protein).
Puluhan ribu protein yang beragam terdapat di dalam tubuh makhluk hidup. Protein-protein ini mengendalikan proses-proses kimia penting secara detail.Bila mesin protein ini malfungsi, biasanya disusul dengan jatuh sakit. Itu sebabnya, biosains merasa perlu memetakan berbagai protein yang ada dalam tubuh. Protein yang semula hanya ditemukan warna hijau itu kini menjadi salah satu alat yang amat bermanfaat di bidang biosains.


Protein warna-warni yang pada awalnya hanya ditemukan warna hijau ini memiliki sebutan GFP atau protein pendar hijau. Protein itu kini menjadi pemandu yang amat penting bagi para ahli biokimia, biologi, ilmuwan kedokteran, dan peneliti-peneliti lainnya.
Protein berpendar hijau berperan penting dalam riset kedokteran dan biologi karena memungkinkan para ilmuwan mengetahui bagaimana fungsi organ, penyebaran penyakit, dan respons sel-sel yang terinfeksi terhadap suatu perlakuan.


Pemurnian dan karakterisasi GFP dari ubur-ubur Aequorea victoria dilakukan pertama kali oleh ilmuwan Jepang Osamu Shimomura pada tahun 1962 yang terdampar di pantai barat Amerika Utara setelah diekstraksikan dari 10.000 ubur-ubur. Bersama rekan-rekan satu timnya menemukan bagian-bagian protein yang bertanggung jawab soal urusan pendar (otomatis bercahaya terutama di kegelapan). Pendar kehijauan itu muncul jika terkena sinar ultraviolet. Namun kegunaannya sebagai alat deteksi biologi molekuler masih belum jelas sampai pada awal tahun 1992. Bagian itu disebut chromophore—sekelompok zat kimia yang mampu menyerap dan memancarkan cahaya.


Teknologi yang menggunakan GFP ini membantu kita menyaksikan pertumbuhan tumor ganas kanker, perkembangan penyakit Alzheimer pada otak, atau perkembangan bakteri patogenik. Bayangkan, dengan GFP kita mampu mengikuti pertumbuhan sel-sel secara individu, padahal tubuh kita terdiri dari triliunan sel dengan beragam tugas dan fungsinya.


Douglas Prasher melaporkan keberhasilannya dalam mengkloning dan mendapatkan sekuen nukleotida GFP [9]. Keberhasilan kloning tersebut dilanjutkan dengan aplikasi GFP pada dua sistem organisme prokaryotik (bersel tunggal) dan eukaryotik (multi sel/organisme tingkat tinggi). Organisme prokaryotik yang digunakan adalah Escherichia coli, sedangkan organisme eukaryotiknya adalah cacing dari filum nematoda (cacing gelang) yaitu Caenorhabditis elegans. Hasilnya sangat memuaskan. Ekspresi GFP cukup stabil pada kedua sistem tersebut.
Akhir-akhir ini, GFP fusion system digunakan untuk mengetahui ekspresi (localization) suatu gen dengan menggunakan onion epidermal cells atau protoplast. Pada umumnya promoter yang dipakai untuk GFP fusion adalah 35S sehingga konstruk akhir menjadi p35S:gen/cDNA:GFP. Ekspresi yang muncul tersebut sering disebut dengan transient expression dari suatu gen.

Pengembangan

Adapun Chalfie yang lahir pada 1947 lalu adalah seorang profesor biologi di Universitas Columbia, AS. Ia melanjutkan apa yang telah dimulai Shimomura. Chalfie membantu penemuan gen yang mengendalikan GFP dan menemukan cara untuk memasukkan gen tersebut ke tubuh Caenorhabditis elegans atau cacing gelang. Idenya adalah menghubungkan gen GFP dengan berbagai pemicu gen akan memungkinkan dirinya melihat di mana protein-protein yang berbeda dihasilkan.


Dalam satu dekade terakhir, GFP telah berfungsi sebagai bintang pembimbing bagi ahli biokimia, ahli biologi, ilmuwan kedokteran, dan peneliti-peneliti lainnya. Protein ini telah menjadi salah satu dari alat yang paling penting yang digunakan dalam biosains kontemporer.
Penelitian lanjutan atas GFP telah berhasil dimanfaatkan sebagai alat pencari dan pengikat pada biosains.Dengan menggunakan teknologi deoxyribo nucleic acid (DNA), para ilmuwan tersebut mampu menghubungkan GFP pada protein-protein lainnya. Gen untuk menciptakan GFP disuntikkan ke dalam DNA hewan-hewan percobaan, bakteri, atau sel-sel lainnya. Protein tersebut akan berpendar di bawah paparan sinar ultraviolet.


Para peneliti memanfaatkan GFP untuk mengamati proses-proses dalam tubuh yang semula tak terlihat. Misalnya, perkembangan sel-sel saraf di dalam otak atau bagaimana penyebaran sel kanker. Bahkan kini para peneliti dapat mengikuti "nasib" berbagai jenis sel dengan bantuan GFP. Misalnya, sel saraf yang rusak pada penyakit Alzheimer, atau bagaimana sel beta penghasil insulin terbentuk di pankreas saat pertumbuhan embrio (bakal bayi).


Para peneliti menciptakan brainbow, yakni mereka berhasil memberi warna yang berubah-ubah pada sel-sel saraf yang berlainan dalam otak seekor tikus.
Warna-warna selain hijau ditemukan Roger Y Tsien. Dia juga menemukan penjelasan mengapa GFP bisa bersinar di kegelapan (fluorescents). Tsien lalu melengkapi tahap terakhir penelitian. Dengan menggunakan teknologi DNA, profesor di Universitas California itu menukar beragam asam amino di dalam bagian-bagian yang berbeda GFP. Hal itu memungkinkan protein menyerap dan mengeluarkan cahaya. Pria yang lahir 56 tahun lalu itu kemudian mengembangkan varian baru GFP yang dapat berpendar lebih terang dan dengan warna yang berlainan.

PERMAINAN TRADISIONAL (TAK) LAGI POPULER


Permainan petak umpet yang dulu sangat digemari telah tergantikan permainan sejenis counter strike. Lahan luas sebagai sarana bermainpun sudah tergantikan mal, perumahan, dan rumah toko (ruko). Kini permainan tradisional tak lagi digandrungi anak-anak zaman sekarang.

Kondisi Indonesia yang bervariasi mulai dari alam pegunungan, sungai, dataran, pulau, sampai suku-suku yang mendiaminya, menjadi cikal bakal lahirnya permainan-permainan kreatif yang diciptakan oleh leluhur bangsa. Permainan inipun sarat dengan nilai-nilai filosofis. Nilai-nilai yang disisipkan pun diharapkan dapat dilaksanakan dalam setiap tindakan dengan penuh kesadaran. Sehingga permainan tradisional ini akan banyak memberi pengaruh bagi masa depan bangsa.


Permainan dilakukan hanya untuk meyenangkan hati. Rasa senang dapat dialami oleh setiap orang, kaya atau miskin, orang kota atau desa dan berlaku dari dulu, sekarang, dan seterusnya sampai waktu tak terhingga. Masa anak-anaklah antusiasme permainan tak pernah surut, sehingga di masa ketika mereka baru mengenali permainan diharapkan mampu menangkap nilai-nilai dibalik suatu permainan.


Nilai-nilai luhur yang tersirat didalamnya bisa melekat pada pemain-pemainnya, yakni anak-anak yang kelak akan meneruskan perjuangan mempertahankan bangsa ini. Bagi Prof. Dr. N. Driyarkara S. J, ahli filsafat, pendidikan kebudayaan lokal seperti permainan merupakan awal dari pendidikan kepribadian nasional. Oleh karena itu, setiap pendidikan budaya lokal akhirnya harus diintegrasikan dengan pendidikan nasional.


Beberapa ahli psikologi berpendapat bahwa dalam permainan tradisional sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan jiwa anak. Dengan bermain bersama, anak-anak dilatih untuk bisa saling menghargai bahwa setiap orang memiliki karakter dan nasib yang berbeda-beda. Sesama manusia harus hidup tolong-menolong dengan bergotong-royong. Selain itu, pada setiap tahap permainan ini anak-anak sudah melatih diri untuk bersikap ulet, jujur, setia kawan, dan disiplin agar dapat mencapai apa yang dicita-citakan.


Permainan tradisional bisa mengasah kemampuan motorik anak, baik kasar maupun halus, serta gerak refleksnya. Selain gerakan motorik, anak juga dilatih bersikap cekatan, berkonsentrasi, dan melihat peluang dengan cepat untuk mengambil keputusan terbaik agar bisa menangkap lawan seperti dalam permainan Benteng. Kemudian permainan seperti dakon dapat merangsang menggunakan strategi. Anak harus pandai menentukan biji di lubang mana yang harus diambil terlebih dahulu, agar bisa mengumpulkan biji lebih banyak dari lawan.Melihat manfaat-manfaat tersebut, sebenarnya permainan tradisional ini penting dilakukan oleh anak-anak zaman sekarang. Selain untuk memperoleh manfaat yang tidak bisa didapat dari permainan modern, juga untuk memacu anak lebih kreatif.


Modernisasi yang bergerak lambat namun pasti telah membuat permainan modern berkembang pesat dengan jenis-jenisnya yang makin variatif, sehingga permainan tradisional kini kian tersisih. Permainan modern memang bisa dimainkan dimana saja dan kapan saja. Mulai dari anak-anak sampai mereka yang telah dewasa pun kini asyik di depan layar TV, komputer, dan handphone (HP) untuk bermain game. Bahkan mereka rela merogoh kocek yang tidak sedikit untuk melengkapi aplikasi game mereka. Hal tersebut tidak mengherankan karena permainan ini tidak memerlukan tempat khusus dan luas serta bisa dimainkan sendiri.


Permainan modern yang saat ini menjadi idola baru bagi anak-anak dinilai kurang mendidik, cenderung individual, materialistis, ingin menang sendiri, dan masih banyak efek negatif lainnya. Ironis memang, permainan modern yang sebagian besar berasal bukan dari negara sendiri, justru semakin digemari. Padahal, permainan tradisional dapat menjadi identitas warisan budaya bangsa ditengah keterpurukan kondisi bangsa saat ini.


Sebagai kota besar yang terus berkembang, Kota Malang sekarang ini mengalami perubahan tidak hanya dari wajah lingkungan sekitar dan wajah-wajah baru warga yang menempati rumah silih berganti namun juga jenis permainan yang dulu popular dimainkan seperti bermain petak umpet, layang-layang, gasing, egrang dan lain-lain. Semakin berkurangnya lahan untuk bermain di Kota Malang menjadi titik awal minimnya anak-anak untuk memainkan permainan tradisional. Lahan terbuka yang selama ini sebagai ruang publik telah banyak tergusur. Padahal, permainan tradisional ini sama dengan olahraga rekreasi yang membutuhkan lahan luas, bahkan sudah diatur dalam Undang-Undang olahraga Rekreasi. Tapi kalau lahan yang ada sekarang ini sudah terasa sempit, tentunya memainkan permainan tradisional akan terbatas pula.


Selama ini, pembangunan yang dilakukan Pemerintah Kota (Pemkot) Malang cenderung mengabaikan kebutuhan masyarakat akan lahan terbuka. Bahkan, RTRW yang sudah dirancang seringkali dirubah Pemkot demi keinginan investor. Adagium Malang Ijo Ruko-Ruko sejak Peni Suparto berkuasa. Akibatnya, masyarakatlah yang menuai dampaknya terutama anak-anak yang akan kehilangan lahan untuk bermain.


Pemkot dinilai kurang memerhatikan permainan tradisional dan menyediakan lahan untuk bermain. Apalagi melihat perkembangan permainan tradisional semakin tersisihkan dengan hadirnya permaian-permainan modern.Tak bisa dipungkiri, kurangnya perhatian dari pemerintah, membuat permainan tradisional tertinggal jauh dibanding video game, komputer game, dan jenis permainan modern ektronik lain yang saat ini menjamur di berbagai kota-kota besar. Jika hal ini tidak juga menjadi perhatian serius baik dari pemerintah maupun masyarakat, bukan tidak mungkin salah satu warisan budaya turun temurun itu akan musnah karena ketidaktahuan generasi muda dan generasi seterusnya.


Dengan penghayatan tentang pentingnya generasi-generasi yang tangguh dan bermoral semestinya permainan tradisional tidak ditinggalkan begitu saja lantaran tidak modern. Perlu ditegaskan pula bahwa tidak semua yang kuno itu jelek dan sebaliknya tidak semua yang modern itu baik. Semua kebudayaan semestinya diserap dengan akulturasi yang benar, dalam arti kebudayaan tradisional maupun kebudayaan modern yang baik harus dilestarikan sedangkan kebudayaan yang bernilai tidak baik bagi kemajuan bangsa harus disingkirkan.


Bagaimana mau melestarikan jika tidak tahu jenis-jenis permainan tradisional dan cara memainkannya. Kenyataan ini menjadi suatu tamparan bagi generasi sekarang yang telah banyak berubah seiring berkembangnya teknologi modern. Jika permainan tradisional tetap terjaga tentunya bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi suatu daerah, seperti Desa Petungsewu Kecamatan Dau, Malang. Desa ini menerapkan konsep ecotourism, dimana semua kebudayaan tradisional desa ditampilkan mulai dari permainan, tarian, hingga tradisi yang ada. Sebuah langkah kongkret dalam melestarikan budaya tradisional. Dengan begitu, kebudayaan tradisional tidak akan digilas zaman karena dikemas dalam pertunjukan kebudayaan dan pariwisata.

Monday, August 11, 2008

hai...

salam blogger!!!

Diriku tlah memasuki...
Dunia tanpa batas
Dunia tanpa kehadiran fisik
Dunia yang dilipat